UjianNasional akan Dihapus, Guru Smansa Makassar Beri Kado Puisi Untuk Mendikbudï»ż Puisi "Lelaki dan Potret" Karya Parpal Purwanto Raih Juara 1 Lomba Cipta Puisi LPMP Jateng 2020. Tuliskan contoh puisi tentang keindahan alam. Kebudayaan Jawa Barat.

Oleh Syaifuddin Gani SEBUAH kerja mengumpulkan, membaca, dan menyeleksi puisi para penyair generasi terbaru dekade pertama Abad ke-21 dari sebuah pulau yang kaya akan khazanah kebudayaannya, sungguh membahagiakan sekaligus menegangkan. Membahagiakan, karena kurang lebih seratus puisi yang dikirim, memperlihatkan capaian estetik, kekayaan tematik, pergulatan bahasa, kompleksitas lokalitas, dan sekaligus sebuah siratan bahwa pulau ini, tiada kunjung kehilangan regenerasi penyairnya. Kebahagiaan lainnya adalah ketika dihadapkan pada sebuah lanskap perpuisian yang sudah menyebar dan hampir merata ke setiap provinsi. Menegangkan, tiada lain, karena selain memilih dua belas penyair dari derasnya arus pertumbuhan kepenyairan di sini, juga memilih puisi-puisi terbaik yang mewakili setiap penyair. Ya, Sulawesi, sebuah pulau yang tiada henti berdenyut, melahirkan penyair. Hal ini dapat terjadi, tiada lain, karena selain kaya akan khazanah kelisanan, juga cemerlang dalam tradisi keberaksaraan. Suku Bugis, misalnya, mencapai puncak keberaksaraan dan kebudayaan, tidak diciptakan di masa kini semata, tetapi dibangun beberapa alaf silam, di masa nenek moyang, ketika naskah sureq I Lagaligo, mulai ditulis, beralih ke ranah aksara, yang kini dibaca di berbagai belahan dunia. Generasi Bugis-Makassar kini, “tinggal” memetik dan mengolah kembali buah kreativitas yang pohonnya ditanam oleh leluhurnya di masa silam. Tradisi penulisan serupa terjadi di khazanah kebudayaan Buton, Sulawesi Tenggara. Salah satu karya sastra yang cukup terkenal dari Buton adalah kabhanti, sebuah syair panjang, yang ditulis, salah satunya, oleh La Ode Idrus Kaimuddin, salah seorang sultan di Kesultanan Wolio, Buton. Kabhanti yang ditulis oleh Sultan ke-27 ini, berisi petuah keagamaan, akhlak, syariat, dan kearifan sebagai bagian dari siar Islam bagi masyarakat Wolio yang baru saja memeluk ajaran Sang Nabi, saat itu. Karena memiliki nilai yang dipadu dari lokalitas Buton dan profetik Islam, kabhanti pun menawarkan universalitas sehingga dibaca dan dikaji oleh penghayat ilmu pengetahuan dari beragam latar belakang. Puisi-puisi Sulawesi yang berada di haribaan pembaca saat ini, hadir dengan kekayaan dan kompleksitas adat-istiadat, sudut pandang, pergulatan sosiologis masyarakat Sulawesi, hadangan modernisme dan peliknya persoalan kekinian. Sartian Nuryamin, seorang penyair Sulawesi Tenggara yang bermukim di Kabupaten Kolaka, menyuguhkan puisi yang mewakili persoalan, kekayaan, dan kompleksitas sosial-budaya suku Tolaki. Puisi “Sabda Kalo” berhasil menjelaskan sebuah simbol adat berupa lingkaran rotan yang di tengahnya terdapat sirih dan pinang, sebagai tanda persatuan dan kerukunan suku Tolaki. Sartian, menguraikan secara maknawi adat itu yang berpijak pada bahasa puisi yang khas dan bernas, seraya mempersembahkannya secara filosofis ke haribaan pembaca. Penyair sadar bahwa ue atau rotan yang “pada mulanya tanah” adalah awal-mula manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi dalam laku “meninggikan adat dan membumikan petuah”. Puisi tersebut menjadi suatu pembuka pemahaman bagi dunia di luar budaya Tolaki bahwa setiap adanya perselisihan, pernikahan, perceraian, kematian, perang, dan musabab lainnya selalu “diakhiri” dengan rasa persaudaraan dan pertaubatan melalui kalosara dalam bahasa teeno sara mami, inilah persembahan adat kami’. Puisi ini juga sekaligus mengetengahkan sisi spritualitas dalam balutan lokalitas Tolaki bahwa “Tuhan, penguasa, rakyat” adalah satu jua adanya. Ketiganya “bertemu di ujung simpul” yakni simpul sang khaliq dan simpul sang hamba. Sampailah penyair pada pesan yang menggetarkan yaitu “tandan bergelar kafan pengingat waktu”. Belitan lingkaran rotan, sirih dan pinang, hanyalah ikhtiar manusiawi belaka yang pada akhirnya diperhadapkan pada ujung kehidupan, yakni kematian! Mitos menjadi lahan penciptaan yang menggoda penyair. Tradisi kalosara yang dibalut dengan nilai mitologis pada puisi Sartian di atas, La Ode Gusman Nasiru juga menjadikan mitos, khususnya cerita Putri Duyung, sebagai tema dan pesan. La Mbatambata adalah anak Putri Duyung atau Wandiundiu yang selalu menyusu di pinggir pantai, dalam kelisanan Buton, usai sang ibu diusir suami dan terkutuk jadi setengah ikan setengah manusia. Dalam sudut pandang penyair, La Mbatambata terus saja menjadi “kisah perih kekal dalam sunyi” dan “menari dalam resonansi waktu”. Akan tetapi, La Mbatambata bukanlah melulu soal mitos masa silam dari ranah Buton itu, tetapi di tangan penyair sekaligus menjadi Buton itu sendiri yang tengah bergelut dan berperang untuk keluar dari belitan mitos-mitos kebesaran masa silamnya yang melenakan untuk segera “bangkit dari kisah-kisah dan peristiwa” karena memang “terkutuklah segala masa lalu” itu. Secara tersirat, penyair ingin mengatakan bahwa tugas di kekinian lebih berat yaitu bekerja untuk kemaslahatan, keluar dari mitos. Akan tetapi, sang penyair sendiri tengah bergelut mencapai hal itu, selain mencipta puisi, juga harus berjuang agar La Mbatambata selain sebagai penanda lokal, juga menjadi tokoh universal. Gusman menyajikan puisinya dengan daya ungkap yang khas, segar, dan menggugah. Pulang ke haribaan kampung halaman yang dipenuhi sejarah dan kenangan, ditampilkan oleh puisi “Karena Aku Tak Pulang” karya Wa Ode Rizki Adiputri, penyair Kendari, lewat “kabar untuk laut yang menghitam” yang “sari-sari aspal lekat merambati lekuk gelombangnya”. Si aku lirik menegaskan kesetiaan sang gelombang melalui pertanyaan “pernahkah kau perhatikan betapa setia ia menjemputmu?” Keterpesonaan si aku lirik pada kampung halaman—yang sebagian besar adalah masa silam itu—karena ia dapat menjadi tumpahan rindu sebagai si anak hilang yang datang jauh di negeri orang. Melalui larik “siang ini, akumulasi cerita rindu tamat di Murhum, mengintipmu mengucap syukur penuh kaca, ah, lepaskanlah bersama kecewamu di situ”. Murhum, selain adalah nama salah seorang Sultan di Buton, juga sebagai simbol masa silam yang dibanggakan dan tak tergantikan. Romantisisme begitu kuat sehingga hampir tidak ada jalan kembali yang lain, selain ke masa silam itu. Hal tersebut rupanya disadari dengan baik oleh penyairnya. Ia mengeritik lewat bahasa simbolik yang cerdas, “jika kau sempat menyendiri, perhatikan bagaimana gemunung mencuatkan hijau, bagaimana sejarah menjelma cadas”. Sejarah, jika tidak dibaca ulang dengan berbagai sudut pandang, ia hanya menjadi pengganggu, cadas! Sehingga, “Wolio-Sorawolio atau Bungi-Betoambari” hanya mampu “kekal dalam jarak”. Wa Ode tengah berupaya “menjinakkan” bahasa sehingga pada sajaknya yang lain, ia mewakilkan rasa cinta si aku lirik melalui larik segar “garis tepi itu kukenal dari kedalaman obor matamu”. Wa Ode sadar bahwa pergulatan seorang penyair adalah perjuangan menemukan dan mencipta bahasa. Mariati Atkah, penyair asal Sulawesi Selatan, memotret ironi dan kenyataan pahit hidup nelayan. Dengan bahasa dan stilistika yang khas, ia menggambarkan “lelaki tua berjalan di atas laut mimpinya yang bertebing karang”. Laut dan karang sebagai latar fisik, dipadu dengan suasana batin sang nelayan dan masyarakat sekitar yang didayagunakan menjadi kekayaan bahasa puisi yang bernas dan kuat. Pola kehidupan masyarakat di Palajau, Kabupaten Barru dan segala kompleksitasnya merupakan sumber penciptaan. Dengan metafora yang dibangun dari pemilihan bahasa yang ketat, penyair mampu memotret ironi kehidupan nelayan yang “menetas dari ombak di telapak kakinya yang lisut”. Penyair mengatakan bahwa melimpahnya pendapatan yang diwakili “garam melimpah ruah” tidak mampu mengangkat kesejahteraan masyakarat, karena di sisi lain, harga barang pokok tetap tak terjangkau. Dalam keadaan ini, harapan pun “rubuh membiru” dan nasib alangkah asin, seasin garam. Suasana batin si aku lirik dan kemarau panjang yang melanda Butta kampung Turatea berpilin menjadi puisi menyentuh. Dengan pemanfaatan persamaan bunyi konsonan “r” di baris kedua dan ketiga pada bait pertama puisi “Ballo’ Tala”, pembaca dihadapkan pada ambiguitas dan multitafsir makna, antara kemarau hati si aku lirik dan musim panas “serupa api yang sanggup menghanguskan hati”. Dan dengan sentuhan ironi, penyair mampu meminjam aroma ballo’ talla, minuman khas dari buah lontar, yang ditawarkan si aku lirik pada kekasihnya. Namun, alih-alih menikmati rasa manis dan menghilangkan rasa haus “duniawi”, justru dengan getir “memaniskan luka-luka”. Sebuah metafora yang memikat. Jika beberapa puisi sebelumnya memanfaatkan tradisi dan kehidupan masyarakat lokal sebagai sumber penciptaan, Fitriawan Umar, secara intertekstual, meminjam puitika Al-Quran, Surah Al-Qariah, sebagai hipogram puisinya “Surah Kenangan”. Dengan cerdas, penyair muda kelahiran Pinrang, Sulawesi Selatan ini, “mengubah” larik-larik Surah “Hari Kiamat” menjadi larik-larik baru dan tentunya menawarkan makna baru lagi. Tentunya, ini bukan sekadar peminjaman cara pengungkapan, tetapi sebagai strategi literer, sebagai bagian dari alternatif/cara pengucapan. Disebutkan bahwa kenangan adalah “hari di mana semua luka-tawamu seperti laron yang beterbangan”. Bukan gunung lagi, tetapi “senyum-perihmu seperti bulu yang dihambur-hamburkan”. Bagi Fitriawan, kenangan dalam konteks puisinya, tidak lain adalah kiamat itu sendiri bagi “orang yang masa lalunya berfoya-tawa”. Karena tempat kembalinya adalah sunyi, yaitu “api kenangan yang penuh pedih”. Sunyi adalah metafora bagi neraka, tempat penyiksaan dalam bentuk kenangan yang “mengapi”. Apa yang ingin dikatakan oleh Fitriawan adalah perilaku duniawi yang hedonis, yang dipenuhi senyum-perih, luka-tawa, dan foya-tawa akan mendapat ganjaran setimpal, berupa sunyi yang berapi. Bukankah neraka adalah negeri “tersunyi” yang dipelihara lidah-lidah api? Fitriawan juga menulis puisi tentang percakapan orang-orangan di sawah. Puisi seperti ini lahir dari sebuah masyarakat agraris dan memiliki pekerjaan, salah satunya, sebagai pengolah sawah. Dan suku Bugis menjadi salah satu etnis yang dikenal sebagai pengolah sawah yang ulet. Penyair menyuguhkan percakapan liris antarorang-orangan itu, yang sebetulnya mewakili kegelisahan petani. “Apa kau masih diliputi ketabahan, sedang waktu melipat segala” adalah ungkapan yang bernada pesimis dari orang-orangan itu. Puisi ini memiliki kaitan tematik dengan puisi “Ballo’ Tala” karya Mariati Atkah yang melihat adanya pergantian musim, “malaikat petugas pergantian warna melunturkan yang hijau, mengukuhkan yang kuning”. Gilasan sang waktu semakin terasa mendera seiring pilihan pragmatis petani yang lain yang tidak setia kepada bumi, dan “sibuk berunding dengan pemilik proyek”. Selain karena iming-iming uang, himpitan kehidupan membuat petani yang lain lagi mengatakan “kita tak punya pilihan lain”. Di sini, sang penyair menangkap gejala roda dan mesin modernisme yang menggasak kehidupan agraris masyarakat. Sawah berganti “petak-petak rumah di sana”. M. Dirgantara, penyair muda asal Pinrang, Sulawesi Selatan, pada puisinya “Kuda-kuda” terasa kerumitan pintu masuk pemaknaannya. Ada kisah yang serupa cerita sufi dan menawarkan hikmah khas pencari jalan cinta dan kebenaran. Ada nada humor lewat larik “Baiklah. Kita berangkat sore hari. Jagal saja kudaku sebagai bekal’, kamu tertawa”. Dirgantara tengah bergulat antara meraih makna yang filosofis dan tawaran bahasa sebagai medium penyampainya. Kisah sufi terasa kuat ketika sang tokoh di dalam puisinya, “mengambil kembali kudamu dari akhirat dan meminta maaf pada Tuhan karena berubah pikiran”. Kejenakaan seperti ini, lazim ditemui pada cerita sufi, dan Dirgantara mengolahnya kembali menjadi puisi yang menantang pemaknaannya. Kekuatan gaib dan strategi pemerian makna bahasa juga dihadirkan Dirgantara pada kisahnya ini melalui “Orang berkerudung tanah kering itu, baru saja hilang di terima kasih”. Sementara itu, puisi “Pada Karat Besi” Dirgantara menulis tentang hubungan antara aku lirik dan guru yang akan ditinggalkan. Ia mengenang “tentang cangkir saat kami menjadi teh hijau, dan gunting saat kami rambut yang kepanjangan, atau musim gugur ketika kami musim panas yang kurang sabar mendingin”. Bagi si aku lirik, ia adalah pihak yang siap menerima pelajaran dari guru, karena ibarat buku, ia adalah “buku yang berabu”. Penyair muda Gorontalo, Jamil Massa, berangkat dari ladang tebu yang siap dipanen yang dimetaforiskan menjadi “tebu yang tumbuh di keningmu itu”. Rasa sayang si aku lirik pada sang Gadis adalah juga rasa cinta kepada ladang tebu, sekaligus rasa kesal terhadap industrialisasi yang menjadi ancaman keberlangsungan sang ladang. Seperti gadis yang harus dicintai, ladang tebu juga membutuhkan kasih sayang, tetapi “bilah-bilah tajam bergerigi, di moncong perontok mekanis” adalah ancaman bagi kemanusiaan, juga bagi kehidupan ladang. Sajak ini ditulis dengan nada romantis tetapi dibalut dengan kritik sosial yang lembut sekaligus tajam. Harmoni, cinta, penghidupan masyarakat, dan ancaman pembangunan dibingkai dengan baik dalam puisi Jamil “Ladang Tebu” tersebut. Puisi Jamil Massa yang lain kembali menyuguhkan fenomena kemarau pada puisi “Ayat-ayat Kemarau”. Sebuah puisi imajis yang mampu menggambar panasnya sang musim yang retakannya “merayapi tanah kering”. Terasa ke haribaan pembaca, panasnya cuaca yang “berujung pada tangkai randu di gayutan ranting”. Akibat musim seperti ini, “batang digoyang buahnya ikut terpanting”. Jamil menjalin larik-larik puisinya dengan kesadaran akan bunyi rangkap konsonan “ng” sehingga empati dan kritiknya tetap di dalam koridor bahasa yang estetis. Ada semacam rasa keputusasaan yang mendera si aku lirik melihat tidak bersahabatnya alam. Akan tetapi, Jamil secara tersirat mengatakan bahwa di balik “air selokan berwarna cokelat” dan “dingin berliur mengerkah senja yang berangsur” terdapat tangan jahat manusia. Di sini, penyair bergulat antara daya ungkap dan pesan yang disuling dalam bahasa yang peka pada bunyi yang liris. Ada benang merah yang dapat ditarik dari puisi-puisi yang ditulis di Makassar, yaitu ancaman kemarau, pembangunan yang tidak berpihak, dan pola kehidupan masyarakat lokal yang kian tergerus. Di sini, nilai kearifan lokal dan rayuan pragmatisme tengah bergelut dengan arus modernisme yang kuat menggelinding. dalah Abdul Muttalib, penyair muda Mandar, Sulawesi Barat, yang mengetengahkan pergulatan dan perjalanan hidup seorang sopir truk antarkota. Baginya “supir truk adalah musafir” sebuah sudut pandang yang tak biasa. Muttalib memotret hidup sang sopir yang kompleks, penuh godaan, dan cobaan. Godaan dan cobaan itu tidak hanya mucul di tengah perjalanannya, tetapi juga dengan “malam” yang penuh cumbu rayu. Dengan demikian, sopir, bukanlah semata pekerjaan untuk mendapatkan uang belaka, tetapi juga bagaimana menahan diri dari godaan dunia dan terutama merawat kesetiaan pada “lapang hati istri dan kenangan riang anak” di rumah. Dari segi sosiologis, sopir adalah pekerjaan yang banyak dilakoni oleh sebagian lelaki Mandar sebagai kota yang merupakan pusat dari-dan-ke Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Muttalib mampu menghidupkan ingatan kolektif masyarakat Mandar atas pekerjaan sebagai sopir yang melewati kota demi kota, terminal demi terminal, dan pelabuhan demi pelabuhan. Puisi ini berhasil mengkonkretkan sebuah truk yang melalu dengan alunan lagu “kutunggu jandamu” menghidupkan jalan-jalan pengembaraan. Frase “kutunggu jandamu” mewakili laku “jalang” para sopir, gairah perantauan, lambang kelelakian, sekaligus penawar untuk tetap setia dengan pasangan sesungguhnya di rumah. Frase umum ini adalah penanda harapan sang sopir bahwa meskipun ia singgah di kota-kota tak bernama, tetapi di rumah, istri adalah segalanya. Muttalib berhasil menggiring judul lagu Imam S. Arifin tersebut dari jurang klise ke pergumulan bahasa yang khas dan otentik. Sehingga dalam pandangan penyair, “kutunggu jandamu” tidak lagi bermakna ketidaksetiaan seorang lelaki atas istrinya karena menanti status janda dari seorang istri lelaki lain, tetapi justru sebaliknya, jika sang lelaki sopir “zikirnya aliri losmen melati tak harum” maka pasangan di rumahnya akan menjadi janda dengan sendirinya, yang ditunggu lelaki lain. Ya, dengan memanfaatkan kosakata-kosakata khas truk dan perjalanan, misalnya “kompasnya patuh akan rambu-rambu hidup, klakson truknya tetap raungkan doa, ingatkan jalan lurus tanpa kelokan”, Muttalib telah memperkaya pengucapan puisi. Di sini, ia menawarkan puisi yang reflektif, humoris, dan spritual sekaligus. Upaya pemadatan bahasa juga masih terasa di sajak lain Muttalib, “Dua Kantung Hitam Menggantung di Bawah Matanya”. Dua kantung hitam itu “menyimpan kisah gelisah malam” adalah sebuah upaya penyimbolan yang unik. Semakin hitam kantung itu, berarti semakin banyak lipatan kisah yang menggantung di dalamnya. Penyair memberi pesan bahwa kisah-kisah itu patut dipelihara sebagai hikmah di masa kini. Abed El Mubarak adalah penyair Mandar yang mencoba menyelusuri jejak kepenyairan sebelumnya. Dua puisinya ditujukan buat Husni Jamaluddin seorang penyair kenamaan Indonesia kelahiran Mandar dan Zawawi Imron, penyair Madura tetapi banyak menulis tentang Mandar dan menaruh perhatian kepada tanah kelahiran Baharuddin Lopa itu. Sebagai penyair, Abed tidak abai terhadap apa yang dicapai pendahulunya. Kepada Husni ia mengatakan “Aku ingin mengenangmu/Seperti seorang isteri nelayan/Yang saban senja menghambur ke pantai/Mencari bayangan lelakiku antara tepi laut dan garis langit/Adakah di buih kau titipkan juga sebuah rindu yang menggebu?” Abed, mengenang sang penyair yang diasosiasikan dengan seorang istri nelayan yang menunggu sang suami “antara tepi laut dan garis langit”. Abed sekaligus memanfaatkan “laut” sebagai metafora pencarian dan kesabaran, karena laut sendiri adalah dunia yang karib dan tak terpisahkan dengan Tanah Mandar. Laut adalah simbol kehidupan, kesabaran menanti suami, dan sebagai sumber penciptaan puisi itu sendiri. Penyair Ima Lawaru, seorang perempuan berdarah Wakatobi, dengan baik memotret sebuah ritual budaya di Tomia, karia’a. Ia memulai sajaknya dengan “pagiku lautan debu manusia” sebuah larik yang mengandaikan manusia sebagai lautan debu untuk penegasan betapa banyak, sekaligus betapa ritual. Dengan bahasa sederhana tetapi tanpa kehilangan sentuhan puitiknya, penyair mampu menceritakan kembali secara visual sebuah upacara sunatan massal itu. Aroma pagi tercium sampai ke pembaca melalui larik “wangi-wangi mewangi dalam aroma pesta karia’a”. Tidak bisa tidak, sajak ini telah menghidupkan suasana dengan kesegaran kata-kata. Ima Lawaru dengan sajak yang liris, dengan tenang, memungut kata-kata dan menatanya menjadi sajak yang menyentuh. Sajaknya yang lain, “Musim di Rambut Ibu”, adalah sebuah amsal yang kuat dan sekali lagi, menyentuh, mengenai usia seorang ibu. Larik “musim semi/adalah musim yang pertama singgah bercanda mesra di rambut ibu” tentunya digali dari pergulatan bahasa yang intens dan sabar. Pengandaiannya sebagai “tunas-tunas kehidupan mulai tumbuh di kepala ibu yang kurus” bukankah itu sebagai larik yang bertenaga, puitik, dan imajis? Pengucapan yang menarik adalah ketika penyair mengibaratkan Usia sebagai “kemarau mengaum/mengaum lebih panjang dari musim kemarin” dan Maut diumpamakan dengan “ibu memetik musim terakhir, musim terindah yang tak pernah kutahu apa namanya” adalah penciptaan metafor yang hidup dan mengejutkan. Di tangan Ima, dunia kepenyairan di Sulawesi Tenggara, menjanjikan. Puisi adalah pengalaman personal penyairnya. Sebuah pengalaman yang paling dalam dan berkesan dapat diungkap melalui bahasa yang liris. Hanz Al Gebra, penyair asal Manado menjadikan pengalaman intim, berikut segugus harapannya melalui puisi yang lembut. Perhatikan larik ini, “kugambar sketsa wajahmu dengan garis bening” segera saja merangsang imaji visual pembaca pada sebuah kanvas di “bidang berembun”. Menariknya, si aku lirik menggambar di atas kereta, sehingga “setiap detik latar belakangmu berganti, seiring keretaku yang makin melaju”. Di sinilah pertaruhan seorang penyair yang berjuang menawarkan kata-kata. Sang penyair mengatakan bahwa kereta itu “digerakkan mesin rindu”, sebuah ungkapan yang digali dari pencarian bahasa yang ketat. Hanz mengakhiri puisinya dengan sangat konkret dan mengagetkan, “aku meraba mata angin, mengendus kutub-kutub udara yang basah, mereka-reka, di mana engkau akan mewujud”. Dengan demikian, si aku lirik tidak semata menggambar dengan tangan lahir, tetapi juga dengan tangan batin. Sajak Haz yang berjudul “Labirin Senja” juga merupakan upaya penyair di dalam menyegarkan ungkapan cinta melalui metafor senja. Dengan pilihan bahasa “jika bisa kubakar langit, agar malam bisa tertunda” si aku lirik mengemukakan ihwal cintanya dengan kata-kata yang heroik. Penyair Manado, Jean Kalalo, hadir melalui puisi “Tambio” dengan bahasa yang lugas mengalir, berani, liar, dan mengejutkan. Tambio adalah sosok ganda dan hidup di tengah masyarakat Manado, juga Indonesia. Ia, si Tambio, yang “di tepi jalan, matanya meliuk-liuk, o, ya gayanya, Sob”. Jean fasih menjadikan tutur khas Manado menjadi bahasa puisinya, sehingga terasa benar ruh lokalitasnya. Tambio adalah juga yang “di tepi jalan, gesit mencari ayah dan air mata yang dikandungnya”. Tambio adalah anak kandung sejarah dan deru perkotaan. Tetapi Tambio adalah juga yang “di atas mimbar, merengkuh sepi dengan kata, lidahnya melambai nakal”. Di tangan kreatif Jean, pembaca disuguhi beragam tabiat dan nasib Tambio, yang adalah juga nasib kita semua. Jean memberi warna khas bahasanya seperti “sengatan bisa 24 karat” untuk simbol rayuan yang dilakukan Tambio di mimbar politik. Tambio adalah sebuah puisi kritik sosial yang mampu menjaga jarak dengan puisi kritik sosial sebelumnya yang dilahirkan penyair Indonesia. Melalui gaya bahasa tuturan Manado, Jean sangat berpeluang menawarkan gaya pengucapan yang segar bagi puisi kita. Ia mengingatkan pembaca bahwa “Tambio di dalam kantor, tusuk kerut menembus dada, dan selusin liang mayat, menjalar dari pantatnya”. Sebuah bahasa yang satir dan sarkas, tetapi tetap memikat. Jean juga memiliki bakat menyajak dengan cara mbeling, tetapi tidak terjebak pada main-main belaka. Puisi berikut lahir dengan nada kelakar tetapi serius, “ketika nabi-nabi terpasung, berbahagialah jiwa-jiwa yang memuliakan Tuhan dengan keringat lelah, karena lidah adalah senjata, bukan pangkal kemuliaan”. Gaya ironi dimanfaatkan Jean pada puisi tersebut. Begitu pula puisi lain yang tidak kalah nada humornya, “aku cinta damai tapi mereka tidak, aku rindu damai, namun mereka enggan, aku haus damai sedang mereka benci, lambat-lambat aku bahkan lupa damai pernah ada”. Puisi yang lugas, sederhana, tetapi kaya akan makna. Membaca puisi dari para penyair Sulawesi yang khusus ditampilkan untuk Jurnal Sastra edisi ini adalah menghikmati bentangan cakrawala bahasa yang memukau. Para penyair dengan cara yang meyakinkan, memotret kehidupan sosial masyarakat Sulawesi, lengkap dengan kompleksitas permasalahannya, baik ketika berhadapan dengan musim pancaroba, terlebih lagi ketika dihadapkan pada pembangunanisme yang mengabaikan nilai lokal. Mitos mendapat pembacaan ulang, seraya memberi makna baru, meskipun terasa upaya bergelut dengan pukauan mitos, tradisi, dan masa silam. Lanskap Sulawesi yang berlaut, berkarang, agraris, yang ditopang oleh khazanah budaya yang bergelimang, menjadi oase penciptaan bagi penyair. Para penyair berjuang untuk menawarkan bahasa yang dipetik dari lokalitas dan nilai masyarakat pendukungnya. Dengan demikian, selain sebagai latar fisik, para penyair masa depan Sulawesi ini dapat mengungkap sisi batin dan spritualitas masyarakat Sulawesi dengan sudut pandang dan pencapaian masing-masing. Kiranya, masa depan puisi di Sulawesi senantiasa cerah, dengan kehadiran para penyair generasi terbaru ini, sebagai pelanjut estafetnya. Menghimpun dua belas penyair dari daerah provinsi yang memiliki dunia kekusastraan yang bergairah dan kompleks, dapat terealisasi berkat dukungan dari kawan-kawan penyair yang bermukim di wilayah tersebut. Oleh karena itu, terima kasih jua saya haturkan kepada sahabat/penyair M. Syariat Tajuddin, M. Aan Mansyur, Delasari Pera, dan Arther Panther Oli. Selain itu, selamat pula kepada dua belas penyair Sulawesi yang puisi-puisinya hadir di sini. Lapangan kesusastraan Sulawesi dan tanah air, menanti Anda. Wassalam. Kendari, 30 September 2013 Catatan Esai Syaifuddin Gani, “Sulawesi, Lokalitas, dan Puisi” adalah tulisan pengantar edisi “Sulawesi dan Roh Ideologi Puisi Nusantara Mutakhir” dalam Jurnal Sastra The Indonesian Literary Quarterly lalu kemudian dimuat di Sastra Digital edisi April ini juga dimuat di tanggal 1 Juli 2015

PuisiTentang Alam Senja, Keindahan Yang Tidak Terganti Lukaku Diusap Sang Bulan Potongan Indahnya Surga Nusantara Awan Kemana Perginya Alamku Yang Lestari Pantai Di Atas Bentangan Langit Itu Keindahan Alamku, Alam Indonesia Inilah Tanah Airku Desaku Yang Permai Rembulan Dan Matahari Alam, Itulah Namaku Indonesiaku, Tanah Airku Jakarta - Alam memang sering dijadikan objek dalam sebuah karya sastra, salah satunya adalah puisi. Puisi tentang alam bisa sebagai bentuk ekspresi kecintaan akan alam dan adalah bentuk dari karya sastra yang berisi ungkapan dan perasaan. Puisi bisa menggambarkan tentang suasana keadaan sekitar atau lingkungan, perasaan senang, sedih, gelisah, marah, bahkan yang terkandung pada suatu puisi, berisi pesan-pesan tertentu yang bisa ditangkap oleh pembacanya. Bahasa dan kata-kata yang ada dalam puisi terikat dengan rima, irama, lirik dan dari modul Kemendikbud bertajuk "Pembelajaran SMA Bahasa Indonesia Kelas X" karya Suttji Harijanti, berikut adalah struktur batin dan fisik puisiStruktur Batin Hakikat Suatu Puisi1. Tema merupakan unsur utama dari isi puisi, karena hal ini berhubungan dengan makna yang ingin disampaikan oleh penyair dengan Rasa sikap penyair terhadap suatu masalah, yang diungkapkan dalam puisi. Ungkapan rasa ini, biasanya berkaitan dengan latar belakang penyair, contohnya agama, pendidikan, jenis kelamin, pengalaman, dan Nada seorang penyair dapat menyampaikan suatu puisi dengan nada mendikte, menggurui, memandang rendah, dan sikap lainnya terhadap pembaca/ Tujuan maksud suatu pesan yang ingin disampaikan oleh sang penyair kepada pembaca atau Fisik Metode Penyampaian Puisi1. Perwajahan Puisi tipografi bentuk format suatu puisi, berupa pengaturan baris, tepi kanan-kiri, halaman yang tidak dipenuhi Diksi pilihan kata seorang penyair dalam mengungkapkan Imaji susunan kata dalam puisi, yang mengungkapkan pengalaman indrawi sang penyair pendengaran, penglihatan, dan perasaan. Hal ini bisa mempengaruhi pembaca/pendengar seolah-olah merasakan isi dalam puisi Kata Konkret bentuk kata yang bisa ditangkap oleh indera manusia sehingga menimbulkan imaji. Umumnya berbentuk kata kiasan imajinatif.5. Gaya Bahasa/Majas penggunaan bahasa yang bisa menimbulkan efek dan konotasi tertentu yang dapat mengandung banyak makna. Contohnya majas metafora, ironi, repetisi, pleonasme, dan Rima/ Irama persamaan bunyi dalam penyampaian puisi, baik di awal, tengah, ataupun di akhir adalah contoh puisi tentang alam, spesial yang tim detik kumpulkan untuk kalian semua!1. "Sajak Matahari"Karya RendraMatahari bangkit dari sanubariku Menyentuh permukaan samudra raya. Matahari keluar dari mulutku, menjadi pelangi di cakrawala Wajahmu keluar dari jidatku, wahai kamu, wanita miskin!Kakimu terbenam di dalam lumpurKamu harapkan beras seperempat gantang, dan di tengah sawah tuan tanah menanammu!Satu juta lelaki gundul keluar dari hutan belantara, tubuh mereka terbalut lumpur dan Kepala mereka berkilatan memantulkan cahaya matahariMata mereka menyala tubuh mereka menjadi bara dan mereka membakar duniaMatahari adalah cakra jingga yang dilepas tangan Sang KrishnaIa menjadi rahmat dan kutukanmu, ya, umat manusia!2. "Pengakuan yang Jujur"Karya Radius Siburian Di tiap ujung daun menjari Tersimpan nada kagumDi tiap Bentangan akar bersembunyi nada taatDi tiap pucuk pohon pinus Bertunas nada syukurDi tiap ujung paruh burung terselip rasa kagum Di tiap auman fauna terdengar rasa taatDi tiap alat gerak animalia terbekas rasa syukurDi tiap bibir pantai-pantai tercium rasa kagumDi tiap puncak gunung menjulang tersimpan rasa taatDi tiap muara sungai terbentang rasa syukurDi tiap hamparan samudra terbentang nada dan rasaKagum, taat, syukur semua menyanyi kitab Kejadian sempurna3. "Pancuran 7 Abadi"Karya Dede Aditnya Saputra Desir angin sepoi menghembus perlahanBersama nyanyian burung di pucuk dahanAirmu menari-nari dalam nestapaMencairkan luka oleh karena cinta Tercium bau yang harum menawanBau harum airmu memecahkan qalbu buanaTahukah kau akan qalbu buana itu?Yaitu qalbu yang dirundung duka dan nestapa Oh.. nirwana puncah Gunung SlametKaulah tempat kami mengingat sang KuasaMelepaskan jiwa yang bermuram durjaDan merenungkan masa jaya Selain air terjunmu yang menawanTerdapat mata air panas yang bersahajaMembuat kita bersatu dengan malamApalagi malam Jumat orang Jawa Terus lah abadi kau Pancuran ketujuhBersama ke enam Pancuran di bawah sanaPancarkan sinar keemas an dalam air mu!Untuk melupakan rasa sendu yang menggebu4. "Hutan Karet"Karya Joko Pinurboin memoriam SukabumiDaun-daun karet di hamparan monyet di kalong menghalau pucuk-pucuk ilalang belalang di semak-semak sebuah jalan kenangan sebelum surya berlalumasih kudengar suara bedug "Siapakah"Karya Acep Zamzam NoorSiapakah yang menyiramkan hijauKetika punuk bukit kembali bersemiSiapakah yang menumpahkan biruKetika ombak berkejaran dengan sunyiSiapakah yang menggambari langitDengan kuas sehalus awan pagiSiapakah yang mengukir udaraDengan pahat selentur jemariSelanjutnya, puisi tentang alam Taufiq Ismail
Puisi Sumber ilustrasi: PEXELS/ manusia lestarikan alam ini dan jagalah alam ini untuk anak cucu nanti, warna warnai bunga bermekaran di tepian telaga bukit. Keindahan alam matahari yang sangat menyinari lingkungan alam sinar, matahari sangat baik embun pagi sangat sejuk
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Ku nikmati indahnya semestaDari pinggir pulau di ibu kotaKu termenung menatap senjaPenghilang rasa gundah gulanaPulau Seribu, pulau nan syahduDikelilingi pesona laut biruKeindahannya penyejuk kalbuPenawar bagi jiwa yang sendu Kala mata melihat senjaMembuat insan mudah terpakuCiptaan Tuhan sungguh nirmalaMemicu jiwa menjadi rindu Pulau Seribu, pulau nan syahduPenyegar raga penyejuk jiwaSungguh indah alam negerikuSemoga Tuhan selalu menjagaPuisi ciptaan R. Muhammad 2021Dilarang menyebarluaskan, mengambil sebagian/seluruhnya, dan memperjualbelikan karya ini tanpa seizin digunakan untuk sarana pembelajaran dengan catatan harus ditulis penciptanya. Dasar hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta Lihat Puisi Selengkapnya
\n\n puisi makassar tentang keindahan

PuisiKarya Rifai Salim Tatkala keindahan tak kan jauh Cuman sejengkal dari pandangan Bergelimang rona pancarkan aroma Setia cengkrama enggan dijamah Namun angan tak setia kenyataan Alibi tuk berlari belok kanan dan kiri Meniti jalanan nan kian tak pasti Gejolak nurani seolah tak kan mengerti Titik kulminasi membelalakkan jati diri

Home Kabar Seni dan Budaya Kearifan Lokal Puisi Makassar Dalam Pentas Opera Bunga Eja ... Kabar Seni dan Budaya Terbit 1739 - Sebuah karya puisi Makassar yang dibuat oleh seorang penulis warga Takalar Hanif Rangga dijadikan dalam bentuk seni panggung pentasan musik dan sandiwara atau disebut Opera. Puisi Makassar yang berjudul "Bunga Eja" dipentaskan melalui Opera yang menceritakan tentang kisah pembelajaran moral dan etika seseorang yang dimainkan oleh pemuda-pemudi Kabupaten Takalar dalam Sanggar Seni Ataraxia Kabupaten Takalar dengan judul Opera Bunga Eja. Opera Bunga Eja sendiri disutradarai oleh Bang Yus Amin Db. Puisi Bunga Eja menceritakan dimana sosok anak perempuan yang dibesarkan dari sentuhan-sentuhan Kearifan Lokal mulai dari sejak lahir hingga Bunga Eja tumbuh menjadi sosok perempuan yang menjaga dirinya dalam Kerangket adat. Didalam Puisi, Bunga Eja adalah sosok wanita dengan nama Sari Bulan Daeng Maccora secara Deskripsi makna Puisi dari Bunga Eja disematkan segala wujud keindahan langit dan bumi, meski mandiri dan dijunjung tinggi, perangainya yang serupa ombak samudra, kecerdasannya yang seluas Bang Yus sapaan akrabnya, Puisi Bunga Eja merupakan karya yang sangat filosofis, penuh makna. Sastra yang mengandung unsur semantik yang luar biasa sehingga dirinya tertarik untuk membuatnya dalam bentuk pertunjukan. "Kita berharap Opera Bunga Eja bisa memberikan pembelajaran moral atau etika bagaimana seorang anak mampu belajar dari kisah cerita ini. Apalagi untuk kaum milenial saat ini," ungkap Bang Yus saat ditemui Jumat 25/9.Dia menilai, melalui pentas ini dapat mengedukasi bahwa Kearifan Lokal dapat mempengaruhi perkembangan psikologis dan karakter seorang anak. "Dan saya juga ingin menyampaikan kepada semua orang bahwa tidak semua kearifan lokal itu dinilai negatif. Tapi mari kita mencoba mengedukasi ulang bahwa kearifan lokal sangatlah berpengaruh terhadap perkembangan psikologis dan karakter seorang anak," ungkapnya. Pentas Kesenian Opera Bunga Eja akan digelar pada Sabtu 3 Oktober 2020 mendatang yang dimulai pukul hingga selesai. Pentas ini akan digelar di Grand Kalampa Hotel pusat kota Takalar, tepatnya di Jalan Poros Takalar-Jeneponto. Berbagai pentas Kesenian tampil dalam acara tersebut, Seperti Tari Ganrang Bulo, Tari Bunga Eja, Perkusi dan Seni Bela diri Makassar yakni Manca dan Silat. Opera Bunga Eja akan dimainkan 10 pemuda dan pemudi Kabupaten Takalar. Ketua Sanggar Seni Ataraxia berharap apresiasi masyarakat Takalar khususnya sesama pekerja seni."Ini sebuah tantangan sekaligus pembelajaran bagi kami karena berani memulai pertunjukan Opera ini. Apa lagi mengangkat sebuah kearifan lokal. Kami berharap ini bisa diapresiasi oleh masyarakat Kabupaten Takalar khususnya sesama pekerja Seni," ungkapnya. Perlu diketahui, dalam Pentas Seni Opera Bunga Eja ini, panitia pelaksana turut mengundang Ketua DPRD Kabupaten Takalar Darwis Sijaya, Bupati Takalar H Syamsari Kitta, Dinas Kebudayaan Kabupaten Takalar termasuk penonton yang akan menyaksikan Opera Bunga Eja dengan harga tiket sebesar rupiah. Terakhir, Sebagai skenario dan sutradara Opera Bunga Eja Bang Yus berharap Pemerintah Kabupaten Takalar lebih memperhatikan pengembangan budaya Kearifan Lokal, Kesenian Daerah. "Semoga pemerintah bisa lagi lebih memperhatikan pengembangan budaya kearifan lokal dan kesenian daerah Kabupaten Takalar," pungkas Mahasiswa lulusan bahasa & sastra di Unismuh Makassar uji. Berikut kutipan Puisi Makassar yang berjudul "Bunga Eja" karya Hanif Rangga warga Takalar yang dipentaskan melalui Opera Bunga Eja. Ooh anakku, Saribulang daeng MacoraPilanngeri baji'mami, pidandang pappasangkuRigintingannuji antu maloloNa natujuko mata baule'Na nadongkokiko pangngaiPunna sallang toako na mannasi'mo tanrasula ri abannuNamminro kebo'mo uyuq nuTana tujuamako mata. Tana dingkokiamako pangngaiPunna tatappoko ia ana'Anjalling kalau' mako ri pa'rasangang anjayaRi bori' tau mata. Penulis Abdul Kadir Editor Herlin Sadid . 140 164 497 180 110 206 435 61

puisi makassar tentang keindahan